Rumah itu mengingatkan saya pada rumah masa kecil saya di kompleks Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Klasik dan rimbun.
Sebuah pohon rambutan rindang di tengah halaman dikelilingi berbagai tanaman yang lebih kecil. Ada yang merambat, banyak pula yang tertanam rapi di pot-pot. Kesan yang menenangkan. Sebenarnya sudah lama saya ingin ke sini, tapi selalu batal karena kekhawatiran saya. Bukan takut pada kerimbunan pohon rambutan di malam hari, tapi kepada pemiliknya, Sumarsono, seorang terapis holistik. Ketakutan yang sebenarnya tidak beralasan. Hal ini muncul dari cerita-cerita orang lain tentang Pak Sonny, begitu panggilannya.
Teman saya bilang, istrinya, juga pasien-pasien lain, bisa tidur berjam-jam, bahkan semalaman, bila "dipegang" Pak Sonny. Saya hanya tak mau bikin orang rumah bingung kalau saya tak pulang karena ketiduran di tempat prakteknya. Namun keraguan itu harus saya singkirkan karena kebutuhan mendesak untuk memulihkan fisik saya yang terganggu. Saat itu saya kerap kleyengan tak menentu. Di teras depan rumah yang rimbun itu, sebuah meja resepsionis sederhana diletakkan. Di belakangnya, seorang perempuan tersenyum ramah. Pada dinding-dinding ruangan itu tertempel kliping artikel wawancara Pak Sonny di majalah-majalah yang biasa dibaca orang tua saya. Setelah mengisi data pribadi, saya duduk di deretan bangku kayu panjang menghadap ke meja tadi.
Sapuan pandangan mata saya kemudian menangkap pengumuman singkat yang tertempel di salah satu dinding : pengumuman tentang aktivitas Kelompok Studi Metafisika. Hmm...menarik! Fisika saja susah, apalagi metafisika. Saat dipanggil masuk ke ruang prakteknya, saya melewati sebuah ruang tamu dengan sertifikat terpasang di dinding sebelah kiri. Wow... dia ternyata Ketua Forum Komunikasi Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia. Wah, kesan misterius mulai menyelimuti. Apalagi ketika melangkah makin dalam. Indra penciuman saya mulai menangkap wangi dupa yang semerbak. Untung, bulu kuduk saya tak tegak.
Di balik pintu tempat praktek, seorang pria seumuran papi saya tersenyum dan menjabat tangan saya dengan hangat. Bayangan tentang paranormal berjenggot dan mata melotot, seperti yang kita lihat di televisi atau di film horor- hilang sama sekali. Dia sama sekali tak seperti itu. Tak ada jenggot ataupun rambut panjang, tak ada baju serba hitam, tak ada ikat kepala, tak ada keris terselip di pinggang. Pak Sonny masih kelihatan tegap. Posturnya pun tinggi langsing, hampir mencapai 180 sentimeter. Rambutnya putih tersisir rapi ke belakang. Ia berkacamata dan berkemeja batik. Dia memang memakai banyak cincin, tapi bukan dari batu akik sebesar telur puyuh, seperti gambaran stereotipe paranormal. Cincinnya berbatu kristal mengkilap.
Di meja pun terletak beberapa kristal dengan berbagai bentuk. Juga arca Hindu. Nah, yang terakhir ini yang membuat kesan misterius itu sedikit muncul lagi. Saya pun mulai menceritakan keluhan kesehatan saya. Ia mendengarkan dengan amat tekun dan sesekali mencatat di kertas status. Kelar sesi cerita, saya pun diterapi dengan musik instrumental yang lembut. Pak Sonny dan mas Adhi, asistennya, mulai menumpangkan tangan di titik-titik yang disebut "chakra" di badan saya. Dan, yang awalnya saya khawatirkan pun terjadi.
Segera saya merasa tenang, rileks, dan ingin tidur. Terasa ada kehangatan energi terpancar dari setiap penumpangan tangan.
Otak saya sadar penuh, jiwa saya tenang, dan badan saya tidur. Nah lho....kombinasi yang jarang saya rasakan. Setelah 20 menit terapi dan 40 menit setelahnya saya "numpang" tiduran di situ, saya pun bangun dengan kesegaran yang luar biasa! Di luar kamar, Pak Sonny duduk-duduk tenang sambil mengecek pesan-pesan pendek di telepon selulernya. Saya tak tahu, kepada siapa dia mengirim SMS itu dan apa isinya. Melihat saya terbangun dan menghampirinya, ia mempersilakan saya duduk. Senyumnya terus mengembang dan saya merasakan ketenangan.
Saya jadi ingat istilah "darshan" yang dipakai Deepak Chopra, yaitu energi positif yang biasanya memancar dari para yogi atau orang bijak di India. Saat kami berdua duduk santai, Pak Sonny tak mengatakan saya sakit apa,karena bukan itu yang hendak ia sampaikan. Justru ia tak ingin saya membahas soal penyakit. Dengan suaranya yang empuk, bak penyiar radio, ia mengatakan saya harus yakin bahwa saya sudah sembuh.
Dalam teori metafisika, itu disebut the law of attraction. Kalau kita berpikir sehat, seluruh sel dalam badan kita akan menjadikan diri kita sehat. Yang mengejutkan, Pak Sonny kemudian menasihati saya agar belajar memaafkan, karena dengan memaafkan, proses kesembuhan bisa makin sempurna. Wah, dari mana pria yang punya aura adem ini tahu bahwa saya sedang jengkel kepada seseorang?
Saat sesi konsultasi itu, saya sama sekali tidak bercerita soal sakit hati. Namun, di bawah tatapan matanya yang teduh tapi tajam itu, saya tak bisa membantah. Saya pun berjanji untuk belajar memafkan. Ternyata memaafkan itu memang pembelajaran seumur hidup. Beberapa saat setelah saya sembuh, saya dihadapkan pada kasus baru yang kembali menuntut saya untuk memaafkan. Dan, anehnya, pada saat itulah SMS dari Pak Sonny muncul di ponsel saya. "Jangan membiarkan kebencian berkembang dalam diri Anda, karena kebencian itu dapat menghancurkan hati, jiwa, pikiran, dan tubuh Anda sendiri." Pesan singkat seperti ini yang mungkin dia kirimkan kepada para pasiennya, seperti yang saya lihat saat berada di rumahnya yang berpohon rambutan itu.
*Karya: Debora Amelia Santoso U MAGAZINE no. 29 edisi APRIL 2010